Minggu, 23 Mei 2010

Nenek 110 Tahun Doyan Kopi dan Rokok

Rabu, 19 Mei 2010
BATU, KOMPAS.com

Beberapa waktu lalu, di Jawa Barat, petugas sensus menemukan tiga perempuan berusia lebih dari 100 tahun di Desa Cogreg, Cikatomas, Kabupaten Tasikmalaya. Mereka adalah Minah (120), Kalsem (115), dan Suki (107). Namun, Minah mengaku tak tahu persis tahun kelahirannya, dan diduga lahir sebelum 1900.

Namun, di Jawa Timur, jagonya mungkin Mbok Mani, warga Kota Batu, dekat Kota Malang, yang mengaku berusia 110 tahun dan ingatannya cukup akurat.

Nenek itu tampak sehat. “Saya masih ingat betul, pertama kali nikah tahun 1913, dan waktu itu umur saya masih 13 tahun. Saya dilarang menikah oleh petugas naib (penghulu pada zaman Belanda). Akhirnya, pernikahan saya dengan Na’im harus ditunda setahun,” kenang Mbok Mani.

Orangtua Mbok Mani merupakan salah satu pendiri Dusun Toyomerto, Kota Batu. Saat dia lahir di kaki Gunung Panderman, jumlah warganya hanya 18 orang. “Dulu di sini sunyi sekali karena rumah satu dengan yang lainnya berjauhan. Untuk mendapatkan uang beli beras, saya harus turun gunung menjual sayur dan daun pisang ke Pasar Batu, yang sekarang jadi Alun-Alun Batu,” ujar Mbok Mani.

Meskipun berkeriput, badan Mbok Mani sehat. Setiap hari kegiatan utamanya adalah bercocok tanam di ladang cabe dan sawi miliknya. Bahkan, Mbok Mani pun melakukan pekerjaan yang sama dengan pekerja-pekerja lain, seperti menyiangi dan mencangkul di ladangnya.

Pada tahun 1970 hingga tahun 2000—saat berusia 100 tahun—Mbok Mani menjadi ketua pengajian di Toyomerto. Dia masih kuat mengitari semua rumah warga hingga larut malam, meski topografi kaki Panderman bergelombang.

“Saya tak pernah sakit. Sakit terparah saya seumur hidup hanya ketika keseleo karena tersandung saat di ladang. Pendengaran dan mata saya pun masih jelas,” ujar Mbok Mani.

***

NENEK yang terlihat lebih lugu ini memiliki daya ingat atas beberapa peristiwa penting masih bagus. Misalnya, dia masih ingat penyebab perceraiannya dengan Na’im, suami pertama, yaitu karena dia tak mau memasak dan melayani suami. Penyebab itu kini dia maklumi karena saat menikah dia masih terlalu hijau dan masih seperti anak kecil yang terus ingin bermain-main.

“Saya menikah lagi tahun 1918 dengan pemuda Pesanggrahan, Ismad. Saat itu saya sudah cukup dewasa. Tetapi sayang, hingga suami meninggal—sebelum Jepang masuk ke Indonesia—kami tak memiliki anak,” ungkapnya.

Apa rahasia sehatnya selama ini ? Ditanya demikian, Mbok Mani terkekeh. Ternyata, pertanyaan itu sangat sering dilontarkan orang-orang kepada dirinya.

“Saya ini orang desa yang sejak zaman Belanda hingga kini hidup sederhana. Saya tak pernah suka makan daging atau ikan, hanya makan sayuran dan tempe. Tetapi, beberapa gelas kopi dan rokok harus tetap ada untuk membangkitkan semangat bekerja,” paparnya.

Setiap hari, Mbok Mani menghabiskan lima-enam cangkir kopi dan dua-tiga batang rokok. Kebiasaan itu ternyata tak berpengaruh terhadap kondisi kesehatan paru-paru dan jantung. “Yang penting kita ikhlas dan tak iri hati menjalani hidup. Maka dengan begitu, kita tetap sehat badan dan pikiran juga,” tandasnya.

Tidak ada komentar: