Apa yang sering kita dengar dan lihat akan mendominasi otak dan gerak kita. Jika sering menonton berita televisi maka hal itulah yang jadi perbincangan. Jika seharian nonton sinetron maka emosi dan mimpi kemewahan kita mirip seperti tokoh-tokohnya. Jika kita tak memiliki ‘sesuatu’ yang benar-benar disukai dan dituju maka hiburan elektronik memangsa kita. Maen futsal dan bulutangkis serasa lebih kuat dari tv. Proyek berduit besar atau tuntutan untuk dapat gaji mengharuskan kita lupakan berita KPK.
Berbahagialah jika kita hanya nonton tv sesekali, khusus yang disukai. Maka kita tak diperbudak angan-angan dan perut tak digendutkan oleh kursi empuk.
Lebih bersyukur lagi jika kita hampir-hampir tidak pernah menonton tv.
Saya ingin tinggal di sebuah desa dipegunungan yang sejuk. Radio dan laptop menjadi hiburan di rumah. Selebihnya menikmati teh hangat di tengah kesejukan, berolahraga naik turun lembah, menghijaukan lahan-lahan kosong, mempercantik taman rumah dengan bunga-bunga, dan bekerja ditempat yang asyik dengan orang-orang yang saling mendukung.
Apa yang sering mendera kita maka demikian pula kita adanya. Jika rasa ikhlas yang tulus, terima kasih atas apapun karunia Tuhan, dan sembahyang sebagai wujud terima kasih kita mulai dibiasakan maka suatu saat maka ketenangan jiwa terasa lebih menggema lama, hingga ke tetangga.
Kota dan desa mungkin tak berbeda jauh. Ketika ikhlas, rasa terima kasih, dan doa menjadi kebiasaan, apapun nyaman dan tenang dilakukan, meski panas terik kemarau menerpa tanah yang dipijak. Kuingin dipenuhi oleh ketenangan… di pegunungan yang sejuk… disebuah rumah sederhana yang indah dan teduh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar